Bisakah Anda bekerja saat belajar di luar negeri?

Bekerja Saat Belajar di Luar Negeri

Bekerja Saat Belajar di Luar Negeri – Tiga hari setelah mendarat di Melbourne, aku nangis di toilet apartemen yang baru kutempatin. Bukan karena homesick atau culture shock, tapi karena saldo rekeningku tinggal AUD 17,48. Itu bahkan nggak cukup buat beli nasi kotak ayam teriyaki di food court bawah kampus. Kocak banget kan, datang jauh-jauh ke Australia buat kuliah, tapi malah sibuk mikirin cara bertahan hidup karena uang saku dari rumah telat masuk. Dari situlah semuanya dimulai: perjalanan absurd nan melelahkan untuk mencari cara bekerja saat belajar di luar negeri.

Awalnya, aku mikir kerja sambil kuliah itu hal yang mulia dan dewasa. Bayanganku, aku jadi mahasiswa independen yang kuat, punya uang jajan sendiri, dan bisa ngopi tiap sore di kafe lucu pakai laptop sambil ngetik tugas. Tapi kenyataannya? Aku nyuci piring di dapur restoran Jepang dari jam 5 sore sampai 11 malam, lalu pulang naik tram terakhir dengan tangan keriput karena air sabun panas. Rasanya kayak dibohongi film-film coming-of-age yang terlalu banyak menjual mimpi.

Masuk ke dunia kerja part-time di luar negeri itu nggak segampang yang dikira. Apalagi buat mahasiswa internasional yang status visanya dibatasi 48 jam kerja per dua minggu (waktu itu, sekarang sih udah berubah lagi aturannya). Itu artinya, lo nggak bisa kerja sepuasnya walau butuh uang. Dan bahkan buat dapetin kerjaan cuci piring itu pun butuh perjuangan: nganterin CV ke belasan restoran, ngalamin ditolak mentah-mentah karena “you don’t have local experience”, sampai akhirnya dapat satu panggilan setelah dua minggu penuh penolakan.

Di dapur, aku belajar banyak hal yang nggak diajarin di kelas. Gimana caranya multitasking saat lo harus bersihin 20 piring sekaligus sambil dengar teriakan chef Jepang yang ngomong setengah teriak setengah marah. Atau gimana tahan sabar waktu ada pelayan bule sok asik yang ngeremehin karena lo baru kerja dua hari. Tapi ya, dari situ juga aku jadi lebih tahan banting. Malu? Pasti. Tapi perasaan lega waktu gajian pertama masuk dan bisa traktir diri sendiri bubble tea setelah shift malam, itu nggak tergantikan.

Aku juga pernah nyoba kerja jadi barista. Dapatnya dari info teman sekelas yang tiba-tiba resign. Gaji lebih kecil sih dibanding kerja di restoran, tapi suasananya lebih chill. Paling ribet cuma waktu customer nyuruh bikin kopi pakai “almond milk suhu 63 derajat” sambil ngasih tatapan merendahkan karena aksen Inggrisku kedengeran Indo banget. Tapi dari situ aku sadar, orang boleh sok sophisticated, tapi kalau lo bisa bikin flat white yang creamy dan nggak pahit, mereka akan balik lagi. Kadang malah jadi langganan.

Bekerja saat belajar di luar negeri bukan cuma soal cari duit tambahan, tapi juga soal gimana lo belajar survive, ngerti ritme hidup di negara orang, dan ngelatih diri buat fleksibel. Karena sering banget terjadi bentrok antara jam kerja dan kelas. Aku pernah ketiduran di kelas Statistik karena semalamnya shift tutup restoran ditambah mop lantai yang penuh saus tumpah. Pernah juga kena tegur dosen karena ngirim tugas telat. Tapi dosen itu juga pernah kerja part-time waktu kuliah dulu, jadi dia maklum banget. Katanya, “as long as you keep pushing, you’ll figure it out.”

Tentu nggak semua pengalaman manis. Ada momen di mana aku kena tipu. Udah kerja 10 jam di event wedding sebagai pelayan, tapi bayaran nggak dikirim-kirim. Nomor bosnya nggak bisa dihubungi. Ternyata dia perusahaan freelance abal-abal yang biasa manfaatin mahasiswa internasional yang butuh kerja. Aku marah banget waktu itu. Nangis juga sih, karena udah kerja dari pagi sampe malam bawa-bawa baki champagne sambil berdiri terus. Tapi ya, dari situ aku belajar kalau harus lebih teliti soal kontrak dan legalitas kerjaan. Dan mulai gabung komunitas mahasiswa Indo di kota itu supaya bisa saling sharing info kerjaan yang aman.

Hal yang bikin aku bertahan adalah komunitas. Temen sekamar aku kerja jadi cleaner di bioskop. Tiap pulang dia suka bawa popcorn sisa yang masih bersih (dan kadang enak). Kita makan bareng sambil tukar cerita. Kadang ada juga temen lain yang kerja di supermarket, suka nyelundupin roti hampir expired tapi masih layak makan. Lucu sih, kita semua datang dengan niat belajar, tapi akhirnya belajar bertahan hidup juga jadi skill wajib.

Ngomongin bekerja saat belajar di luar negeri, jelas ada yang berhasil dan ada yang berantakan. Aku pernah lihat temen sekampus drop out karena terlalu fokus kerja sampai nilai jeblok. Tapi aku juga kenal cewek Filipina yang jadi tutor anak SMA sambil kuliah kedokteran, dan dia tetap bisa lulus cum laude. Semua tergantung bagaimana kita ngatur waktu, energi, dan niat dari awal.

Banyak juga kerjaan yang bisa disesuaikan dengan skill dan jadwal kuliah. Temen aku dari Vietnam pinter banget ngoding, dia kerja freelance bikin website dari rumah, penghasilannya bisa 4 kali lipat dari aku yang ngelap meja restoran. Ada juga yang kerja jadi guru piano privat, atau jadi tutor bahasa. Kalau punya SIM lokal, bisa juga nyambi jadi sopir Uber atau delivery. Tapi ya, semua ada prosesnya. Dari mulai apply, nunggu visa kerja part-time disetujui, sampe ngadepin kompetisi sama mahasiswa lain dari berbagai negara.

Satu hal yang sering dilupain orang: kerja sambil kuliah itu capek banget. Serius. Bukan cuma fisik, tapi juga mental. Ada kalanya aku ngerasa minder lihat temen-temen lokal bisa fokus belajar, aktif di klub kampus, terus masih bisa jalan-jalan ke pantai tiap weekend. Sementara aku kerja 20 jam seminggu dan masih harus nyari waktu buat ngerjain paper. Tapi di sisi lain, aku merasa lebih hidup. Lebih tahu rasanya kerja keras. Lebih menghargai tiap sen yang aku dapetin.

Dan soal duit? Nggak usah muluk-muluk. Dari kerja part-time itu aku bisa bayar sebagian uang sewa, beli bahan makanan sendiri, dan sesekali nonton konser band indie favoritku tanpa harus minta tambahan dari rumah. Ya, aku nggak kaya mendadak atau punya tabungan gede. Tapi setidaknya, aku nggak kelaparan lagi kayak di hari ketiga mendarat waktu itu.

Sekarang kalau ditanya, bisakah bekerja saat belajar di luar negeri? Jawabannya: bisa banget, tapi dengan catatan. Lo harus siap capek, siap ditolak, siap frustasi. Tapi juga siap belajar banyak hal yang nggak akan pernah diajarin di ruang kelas mana pun.

Dan yang paling penting, lo harus tahu kapan harus berhenti kerja kalau badan udah kasih sinyal bahaya. Pernah suatu malam aku pingsan di dapur karena belum makan sejak siang dan langsung kerja sampai malam. Sejak itu aku lebih sayang sama tubuh sendiri. Karena percuma kerja mati-matian kalau ujung-ujungnya malah nginap di rumah sakit.

Kadang aku masih mikir, apa semua ini sepadan? Apa kerja lembur sambil kuliah emang jalan terbaik? Tapi tiap kali aku buka dompet dan nemu kartu transport yang aku beli dari hasil kerja sendiri, rasanya bangga banget. Nggak semua orang bisa bilang mereka bener-bener survive di negeri orang pakai kaki sendiri. Lo sendiri, kalau lo di posisiku, bakal ambil resiko itu juga nggak sih?

Kalau lo lagi mikir buat kuliah di luar negeri sambil kerja, coba deh bayangin bukan cuma senangnya, tapi juga rempongnya. Siapa tahu, dari situ lo jadi lebih siap. Dan siapa tahu juga, lo bakal nemuin versi diri lo yang jauh lebih kuat dari yang lo kira sebelumnya.

Kalau lo lagi ngalamin hal serupa, lo kerja apa sih sekarang? Gimana rasanya juggling antara kerja dan kuliah? Pingin banget denger ceritamu juga.

Tinggalkan komentar