Pengepakan Tertinggi Studi di Luar Negeri
Pengepakan Tertinggi Studi di Luar Negeri – Begitu tiket pesawat ada di tangan dan visa pelajar sudah dicap manis di paspor, entah kenapa rasa bahagia itu malah digantikan kegugupan akut: “Aduh, gue harus bawa apa aja sih ke luar negeri?” Bukan masalah logistik doang, tapi juga soal rasa takut ketinggalan hal penting yang akhirnya bikin drama di negeri orang. Dan dari semua fase menuju studi di luar negeri, fase ini yang paling sering bikin aku duduk termenung di lantai, koper terbuka, baju berceceran, dan kepala nyut-nyutan kayak abis ngerjain skripsi semalam suntuk. Inilah momen aku sadar: ternyata “Pengepakan Tertinggi Studi di Luar Negeri” itu bukan sekadar soal muat atau nggak muat—tapi seni bertahan hidup.
Kejadiannya dimulai beberapa minggu sebelum keberangkatan. Aku masih tinggal di rumah orang tua, dan tiap kali lewat kamar aku yang makin chaos, Mama selalu geleng-geleng. “Kamu tuh kayak mau pindah dunia aja,” katanya sambil melipat tumpukan jaket tebal. Dan jujur, memang begitu rasanya. Aku bakal tinggal setahun penuh di Swedia, negara yang bahkan musim panasnya bisa mendadak dingin kayak nasib chat nggak dibalas. Dan percaya deh, walaupun di brosur kampus mereka bilang ‘semuanya ada di sana’, kenyataannya nggak semua ada yang cocok buat kita.
Pertama-tama aku kepentok masalah paling dasar: koper. Aku punya dua opsi—koper jumbo yang bisa muat satu dunia, atau koper medium yang direkomendasikan biar nggak kena over baggage. Tapi siapa yang bisa tahan cuma bawa baju buat dua minggu doang, sementara kamu bakal tinggal berbulan-bulan? Akhirnya aku milih koper jumbo dengan penuh rasa bersalah. Dan tebakanmu benar: aku kena charge kelebihan bagasi 3 kilogram di bandara. Udah gitu, sebagian space kepake buat hal-hal nggak penting yang kupikir penting banget.
Aku masih ingat aku sempat masukin rice cooker mini ke koper karena banyak forum bilang “masakan Indonesia susah dicari di sana.” Tapi begitu sampai, malah nggak pernah kepake karena apartemenku udah nyediain kompor portable. Jadi rice cooker itu cuma jadi penghuni tetap lemari. Bisa dibilang, itu bagian dari drama “Pengepakan Tertinggi Studi di Luar Negeri” yang bikin aku pengen ketawa sendiri.
Masalah lainnya muncul waktu aku nyadar: aku nggak punya jaket musim dingin yang layak. Di Indonesia, jaket winter itu cuma jadi fashion item. Tapi begitu sampai Stockholm bulan Januari, dan angin musim dingin menyerbu kayak mantan ngajak balikan pas kamu udah move on, jaket itu langsung nyerah. Jadi aku akhirnya beli jaket proper di sana dengan harga nyaris tiga kali lipat dari harga di marketplace Indonesia. Pelajaran penting: kalau memang ada item mahal yang vital buat survival, lebih baik masukin dari awal. Jangan pelit di Indonesia, terus nyesel di luar.
Tapi bukan cuma soal pakaian dan barang elektronik. Pengepakan juga berarti nyiapin benda-benda kecil yang biasanya disepelekan. Contohnya? Sambal sachet! Sumpah, sambal kayak ABC atau BonCabe itu penyelamat hidup. Waktu awal-awal masih belum kenal siapa-siapa dan makananku masih asal rebus atau bikin roti isi sosis, sambal itu jadi satu-satunya elemen yang bikin aku merasa “rumah”. Bahkan aku sempat barter BonCabe dengan temen sekamar asal Korea yang kangen gochujang-nya.
Ada juga kesalahan lucu yang sampai sekarang jadi bahan bercandaan di antara temen-temen. Aku dulu bawa dua dus masker medis karena masih trauma COVID dan paranoid sama udara dingin. Tapi ternyata Swedia udah nggak mewajibkan masker di mana-mana. Jadi masker itu nggak kepake dan akhirnya… disumbangin ke komunitas Indonesia di sana. Katanya berguna buat mahasiswa baru lainnya. Yah, at least jadi amal.
Dan kamu tau nggak sih, salah satu hal paling underrated dalam pengepakan? Dokumen cetak. Serius. Di era semua serba digital, aku sok percaya diri semua file ada di cloud. Tapi waktu aku ditanyain formulir asuransi kampus saat orientasi, koneksi internet apartemen tiba-tiba lemot parah. Panik bukan main. Untungnya, aku masih punya satu map kecil yang isinya fotokopi paspor, visa, surat penerimaan, dan dokumen penting lainnya. Ternyata, benda-benda yang kita pikir “nggak penting karena bisa difoto” itu, justru yang menyelamatkan kita di saat genting.
Ada juga sisi emosional dari pengepakan ini. Karena tiap barang yang masuk ke koper seakan-akan punya cerita. Dari foto keluarga yang aku laminating kecil-kecil dan selipkan di dompet, sampai selimut tipis yang aromanya kayak kamar di rumah. Aku sempat diledek temen karena bawa guling kecil dari rumah—tapi pas homesick menyerang tengah malam, guling itu jadi satu-satunya pelukan yang bikin nangis pelan-pelan sambil liatin langit-langit apartemen.
Tapi, dari semua proses itu, aku akhirnya belajar satu hal penting: pengepakan bukan tentang mencoba membawa seluruh hidupmu dari rumah. Tapi tentang menyiapkan versi dirimu yang bisa bertahan dan berkembang di tempat baru. Barang yang kamu pilih buat dibawa itu bukan cuma benda, tapi juga simbol transisi, harapan, dan cara bertahan.
Aku nggak bilang aku udah jadi master dalam hal ini. Bahkan sampai sekarang, kalau ada yang tanya “apa sih tips terbaik buat pengepakan studi di luar negeri?”, aku cuma bisa jawab: bawa yang bikin kamu bisa tetap waras dulu deh. Sisanya, bisa dicari sambil jalan. Karena yang paling tinggi dari “Pengepakan Tertinggi Studi di Luar Negeri” itu bukan volume kopernya, tapi seberapa bijak kita bisa memilih apa yang penting buat bertahan secara mental dan emosional.
Kalau dipikir-pikir, hidup di luar negeri itu kayak buka lembaran baru, tapi pena pertamamu dimulai dari barang-barang yang kamu bawa. Dan anehnya, banyak momen-momen paling ngena justru datang dari benda-benda kecil yang kamu pikir cuma pelengkap. Kayak satu sachet Indomie rasa soto yang bikin aku bisa nyengir waktu ngerjain tugas tengah malam. Atau jaket lawas yang awalnya mau ditinggal, tapi akhirnya jadi pelindung setia di musim gugur pertama.
Gagal milih barang? Wajar. Nyesel? Pasti. Tapi di sanalah letak indahnya. Karena nanti, waktu kamu balik ke tanah air dan buka kembali koper bekas itu, kamu nggak cuma nemuin barang. Kamu nemuin jejak versi dirimu yang udah berubah. Lebih tangguh, lebih ngerti arti rumah, dan lebih jago memilih apa yang benar-benar kamu butuhkan.
Siapa sangka, perjalanan besar itu dimulai dari memilih antara bawa rice cooker atau nggak?
Kalau kamu sendiri, barang apa yang paling nggak bisa kamu tinggalin waktu berangkat ke luar negeri nanti?